Arab More Spring: Tunisia dan Semerbaknya Lagi Revolusi Melati
Setelah protes massal di Jazirah Arab yang sering kita kenal dengan sebutan Arab Spring berakhir pada 2011, Tunisia — negara kecil di Pantai Utara Afrika — menjadi satu-satunya negara Timur Tengah dan Afrika Utara yang berhasil keluar dari terowongan gelap kediktatoran menuju cahaya kecil terang yang sering kita sebut dengan demokrasi. Delapan tahun setelahnya, harapan akan sistem pemerintahan yang bersih dan demokratis makin melambung dengan terpilihnya Kais Saied, sang calon independen dari luar arena politik yang dinilai anti-korupsi (Yee, 2021). Namun, harapan rakyat Tunisia akan kehidupan politik dan juga ekonomi yang akan membaik ini pupus setelah pandemi Covid-19 menyerang. Sebab, selain menyebabkan kolapsnya fasilitas kesehatan yang ditandai dengan meroketnya angka kematian dan menghancurkan perekonomian Tunisia yang utamanya disokong oleh sektor pariwisata (Yee, 2021), wabah ini juga mengancam demokrasi yang sedekade lalu telah diperjuangkan mati-matian oleh para demonstrator yang tergabung dalam Revolusi Melati.
Ancaman terhadap demokrasi ini pertama kali muncul dua bulan lalu, tepatnya pada tanggal 25 Juli 2021, ketika Presiden Saied memutuskan untuk mengerahkan Pasal 80 dari Konstitusi Tunisia yang memungkinkan presiden untuk mengambil “langkah-langkah yang diperlukan” ketika negara itu “dalam keadaan bahaya” (Guesmi, 2021). Secara konkrit, langkah-langkah tersebut ia lakukan dengan memecat Perdana Menteri Hichem Mechichi dan menangguhkan parlemen selama 30 hari, sehingga segala kuasa eksekutif tertuju padanya (Guesmi, 2021; Yee, 2021, Al Jazeera, 2021). Selain itu, Saied juga menyerahkan penanganan pandemi pada pihak militer (Amara, 2021a). Meskipun tindakan ini ia lakukan sebagai respons dari tuntutan massa untuk membubarkan parlemen yang dinilai gagal dalam menangani pandemi, namun hal ini tidak dapat dibenarkan. Sebab, dalam perkembangannya, Saied justru mengukuhkan kekuasaannya dengan dukungan militer dan pasukan keamanan serta melakukan pembatasan terhadap kebebasan pers (Guesmi, 2021). Bahkan menurut Yee (2021), ia juga menyatakan bahwa seluruh kekuasaan kejaksaan akan diambil alih olehnya dan siapapun yang memprotes tindakannya ini akan ditindak oleh pasukan militernya. Melihat kenyataan ini, tak heran jika sebagian warga Tunisia kemudian mendeskripsikan upaya Saied ini sebagai kudeta pemerintahan.
Kini dua bulan setelahnya, ketika kondisi dan dampak pandemi kian memburuk, Saied malah makin mensolidifikasi kekuasaannya. Hal ini ia lakukan dengan mengesahkan dekrit yang berisi penyelewengan terhadap sebagian besar isi dari Konstitusi 2014 dan pemberlakuan kembali kebijakan yang telah ia ambil pada tanggal 25 Juli lalu untuk 30 hari kedepan (Amara, 2021b; AfricaNews, 2021). Hal ini tentu memicu kemarahan rakyat Tunisia yang kembali mengorganisasi massa untuk turun ke jalan sejak pekan lalu. Dengan bersenjatakan pengibaran bendera Tunisia, beragam poster berisi seruan protes, dan teriakan “The people want the fall of the coup!” serta “Step down!” ribuan warga Tunisia dari segala penjuru negara memenuhi jalanan Kota Tunis — utamanya Habib Bourguiba Avenue — dalam kemarahan publik terbesar sejak ‘kudeta’ Saied (Amara, 2021b; Volkmann, 2021). Mayoritas dari para demonstran ini datang dari golongan moderat yang tak jarang juga merupakan suporter dari partai Ennahda — partai dengan kursi terbanyak di parlemen sebelum lembaga itu dibubarkan oleh Saied pada akhir Juli lalu (AfricaNews, 2021). Selain itu, salah satu serikat buruh paling berpengaruh di Tunisia juga turut ambil bagian dalam resistensi (Amara, 2021b). Protes ini dijaga ketat oleh sebuah drone pengawas milik Kementerian Dalam Negeri dan pasukan tentara yang juga memisahkan para demonstran ini dengan massa pro-Saied yang melancarkan upaya pembelaan sebagai counter measure (AfricaNews,2021; Al Jazeera, 2021).
Merespons hal ini, Partai Ennahdha mengecam langkah Saied sebagai sebuah “kudeta yang mengancam terhadap legitimasi demokrasi,” dan menyerukan agar rakyat bersatu dalam membela demokrasi melalui “perjuangan damai yang tak kenal lelah” (Volkmann, 2021). Sementara itu, di level pemerintahannya, lebih dari 100 pejabat terkemuka Ennahda — termasuk beberapa anggota parlemen dan mantan Menteri — mengundurkan diri pada hari Sabtu (25/9) sebagai protes atas kinerja Saied yang dinilai buruk (Volkmann, 2021). Dihadapkan dengan berbagai perlawanan ini, Saied nampak tak terpengaruh dan tidak terlihat memiliki intensi untuk memberi batas waktu akan penguasaannya ini (Amara, 2021b). Alih-alih, ia menyatakan akan menunjuk sebuah komite yang akan bertugas untuk melakukan amandemen terhadap Konstitusi 2014 sehingga demokrasi yang sebenarnya dapat berdiri di Tunisia di mana rakyat memegang kedaulatan tertinggi (Amara, 2021b). Sikap Saied ini bisa dimengerti karena, seperti yang telah disebutkan di atas, dukungan domestik terhadapnya masih memiliki basis yang kuat meskipun sedikit. Di samping itu, secara regional, beberapa negara di Kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir juga menunjukkan dukungannya terhadap Saied (Amara, 2021b).
Melihat situasi ini, tentunya berbagai pertanyaan bergumul di benak kita. Akankah satu-satunya prajurit demokrasi di Timur Tengah ini akan gugur mengikuti kamerad-kameradnya, atau justru sang jendral jadi-jadian yang telah menunjukkan tendensi-tendensi otokratik di level domestik akan kembali menjadi orang buangan dalam arena politik negeri Ifriqiyyah ini? Rasanya, belum ada yang dapat memprediksi bagaimana krisis kepemimpinan ini dapat berakhir — karena, ya, kita pembelajar HI bukanlah peramal, bukan? Meskipun demikian, ada satu hal yang jelas terpampang: rakyat Tunisia telah muak dengan otokrasi di masa lalu dan mereka tak akan sudi untuk kembali ke nasib itu.
Referensi
AfricaNews. (2021, September 18). Tunisians protest against president Saied in Tunis. Africanews. Retrieved September 28, 2021, from https://www.africanews.com/2021/09/18/tunisians-protest-against-president-saied-in-tunis//.
Al Jazeera. (2021, September 27). In pictures: Mass protest as Tunisia political crisis escalates. Tunisia News | Al Jazeera. Retrieved September 28, 2021, from https://www.aljazeera.com/gallery/2021/9/27/tunis-mass-protest-as-tunisia-political-crisis-escalates.
Amara, T. (2021a, July 21). Tunisia president says Army will take over management of COVID-19 Crisis. Reuters. Retrieved September 28, 2021, from https://www.reuters.com/world/africa/tunisia-president-says-army-will-take-over-management-covid-19-crisis-2021-07-21/.
Amara, T. (2021b, September 26). Tunisians protest against president’s power grab as opposition deepens. Reuters. Retrieved September 28, 2021, from https://www.reuters.com/world/africa/tunisians-protest-against-presidents-power-grab-opposition-deepens-2021-09-26/.
Guesmi, H. (2021, July 27). What happened in Tunisia was a coup. Politics | Al Jazeera. Retrieved September 28, 2021, from https://www.aljazeera.com/opinions/2021/7/27/what-happened-in-tunisia-was-a-coup.
Volkmann, E. (2021, September 26). Hundreds of Tunisians protest President Saied’s ‘power grab.’ Al Jazeera. Retrieved September 28, 2021, from https://www.aljazeera.com/news/2021/9/26/hundreds-gather-in-tunisia-to-oppose-president-saieds-power-grab.
Yee, V. (2021, July 26). Tunisia’s democracy verges on collapse as president moves to take control. The New York Times. Retrieved September 28, 2021, from https://www.nytimes.com/2021/07/26/world/middleeast/tunisia-government-dismissed-protests.html.