BRI’s Execution in Southeast Asia: An Implementation of The Grand Plan or An Internal Systemic Disfunction?

Sekarini Wukirasih
8 min readApr 4, 2021

--

Sumber: https://www.gisreportsonline.com/opinion-india-nudges-china-toward-belt-and-road-changes,politics,2762.html

Sumber: https://www.gisreportsonline.com/opinion-india-nudges-china-toward-belt-and-road-changes,politics,2762.html

Dalam upayanya mereformasi kebijakan luar negeri Cina setelah memegang kekuasaan tertinggi pada tahun 2013, Xi Jinping mencanangkan sebuah mega proyek untuk menghubungkan kembali jalur sutra yang pernah menjadi basis konektivitas dunia. Inisiasi yang kemudian dikenal sebagai Belt Road Innitiative (BRI) ini mencakup kerja sama di bidang infrastruktur daratan, konektivitas maritim, integrasi finansial, koordinasi kebijakan, dan sebagainya (Cai, 2018). Dalam implementasinya, BRI dimulai dari negara-negara tetangga Cina, termasuk kesepuluh negara di Asia Tenggara yang diharapkan dapat menuai kesuksesan untuk menjamin kelangsungan proyek ini ke depannya. Akan tetapi, akhir-akhir ini, berbagai permasalahan mengenai pengelolaan BRI mulai muncul ke permukaan sehingga para negara partner — termasuk negara-negara Asia Tenggara — mulai meningkatkan kewaspadaannya atas inisiasi ini.

Argumen utama pada artikel ini didasarkan pada asumsi bahwa kemunculan masalah- masalah tersebut dikarenakan oleh adanya pengelolaan problematik dalam kerangka kerja BRI yang bersumber dari dalam tubuh Beijing sendiri. Oleh karena itu, artikel ini akan berusaha menjelaskan bagaimana hal tersebut kemudian memengaruhi munculnya respons kritis dari negara-negara Asia Tenggara, serta implikasinya bagi posisi Cina dalam konstelasi kuasa di region tersebut.

Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan mega proyek yang tampaknya telah direncanakan Cina dengan matang untuk mengatasi kelebihan produksi besi, semen, batu bara dan komoditas dalam negerinya yang lain ini. Sebab, pada kenyataannya, berkat proses state formation yang terjadi di Cina pada periode sebelumnya, Jones & Zeng (2019) berpendapat bahwa kebijakan luar negeri Cina pada era ini sebenarnya tak lain dan tak bukan hanyalah sebuah manifestasi dari kontestasi kuasa antara berbagai institusi pemerintahan dan biro partai yang terfragmentasi, terdesentralisasi, dan terinternasionalisasi.

Dalam berbagai kasus yang terkait dengan kebijakan luar negeri, fragmentasi yang terjadi karena adanya tumpang tindih kepentingan antar aktor pemerintahan ini sering kali membuat kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri dilewati oleh aktor-aktor lain yang lebih kuat, seperti Kementerian Pertahanan dan Keamanan Publik, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Keuangan (Jones & Zeng, 2019). Dalam perkembangannya, aktor-aktor ini lalu mengeluarkan sendiri pedoman-pedoman pemberlakuan kebijakan luar negeri yang disesuaikan dengan kepentingan mereka sehingga pada akhirnya menghasilkan implementasi kebijakan yang bertolak belakang dari apa yang telah dicanangkan oleh Beijing.

Selain itu, desentralisasi yang cukup absolut bagi pemerintah daerah di Cina — yang meliputi desentralisasi kekuasaan, pengelolaan sumber daya, dan pembuatan kebijakan — menyebabkan daerah-daerah tersebut kemudian memiliki kapabilitas untuk menjalankan peran sebagai aktor internasional (Zheng dalam Jones & Zeng, 2019). Salah satunya, pemerintah daerah otonom tersebut dapat menjalin kerja sama dengan pemerintah asing secara independen. Seiring dengan berjalannya waktu, tak hanya pemerintah daerah otonom yang mengalami internasionalisasi. Menurut Jones & Zeng (2019), organ-organ seperti People’s Bank of China, berbagai kementerian yang berkaitan dengan isu lingkungan, maritim, dan kehukuman, serta perusahaan milik negara yang notabenenya merupakan aktor lokal kemudian memiliki kewenangan untuk memainkan peran yang sama dengan Kementerian Luar Negeri Cina di panggung internasional — bahkan dalam beberapa kesempatan aktor-aktor ini kemudian memiliki kewenangan yang lebih.

Kombinasi dari ketiga tren yang muncul akibat proses state formation Negeri Tirai Bambu ini akhirnya membuat proyek-proyek seperti BRI dijadikan sebuah arena perebutan kuasa dan sumber daya dalam tubuh Beijing sendiri. Hal ini tercermin dalam kompetisi sengit untuk merebutkan proyek yang terjadi diantara 28 provinsi yang terlibat dalam BRI (Ministry of Foreign Affairs, Ministry of Commerce & National Development and Reform Commission, 2015). Persaingan ini khususnya nampak dalam pergulatan antara Provinsi Yunnan dan Guangxi, untuk menguasai sumber daya di perbatasan dan menjadi gerbang utama Cina menuju Asia Tenggara — baik secara harfiah maupun tidak (Gong, 2019; Li, 2014).

Dengan adanya perebutan kuasa dan sumber daya yang intens antar aktor di bawah payung kekuasaan Beijing sendiri, tak heran jika cetak biru dan beragam regulasi terkait proyek sebesar ini, seperti Vision and Actions on Jointly Building Silk Road Economic Belt and Twenty-First Century Maritime Silk Road, terkesan samar — bahkan tidak jelas (Jones & Zeng, 2019). Hal ini, menurut Jones & Zeng (2019), justru sengaja dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan berbagai aktor yang terlibat. Aktor-aktor tersebut kemudian memanfaatkan kesempatan ini untuk menginterpretasikan detail implementasi dalam berbagai proyek BRI sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.

Kekalutan dalam internal Cina yang disebabkan oleh friksi antar berbagai aktor dan kepentingan yang terlibat tersebut kemudian menimbulkan ketidakefektifan dalam pengelolaan BRI, meskipun telah dibentuk BRI Leading Group yang seharusnya menjadi pusat pengambil keputusan yang berkaitan dengan mega proyek ini (Gong, 2019). Imbasnya, berbagai proyek yang telah diluncurkan di Asia Tenggara — yang menjadi salah satu kawasan sentral pelaksanaan BRI berkat letak geografi, kebutuhan infrastruktur, dan perdagangannya yang mulai berkembang di pasar dunia — dinilai lemah dalam implementasinya (Marsh JLT Speciality, 2019; Ujvari, 2019). Beberapa proyek, seperti Sino-Vietnamese Cross-Border Economic Cooperation di Vietnam, akhirnya mengalami perlambatan dalam prosesnya karena hingga tahun lalu, tidak ada kejelasan mengenai institusi mana yang sebenarnya menangani proyek ini (Gong, 2019).

Tak hanya masalah kesimpang-siuran implementasi proyek, tudingan mengenai adanya dugaan korupsi pun dalam perkembangannya dilancarkan oleh negara-negara partner di region Asia Tenggara (Marsh JLT Speciality, 2019). Tuduhan ini ditujukan kepada internal Beijing yang mereka anggap melakukan korupsi dalam pelaksanaan BRI di negara mereka. Dugaan yang muncul terkait dengan kerja sama antara mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, dengan sebuah bank negara dalam menaikkan harga suatu proyek untuk menutupi penyimpangan anggaran negara tentu menguatkan tesis ini (Shepard, 2020). Secara teoritis, Greer (2018) memang menyebutkan bahwa desentralisasi dalam manajemen pengelolaan BRI ditambah dengan pembiayaan yang utamanya berasal bank-bank negara milik Cina memang menjadi resep mutakhir untuk membuka ladang yang subur bagi para koruptor.

Selain itu, munculnya berbagai masalah lain seperti terjadinya perusakan lingkungan di Kamboja, pemaksaan relokasi masyarakat setempat tanpa pemberian kompensasi yang sepadan di Laos, serta adanya bentrok antara tenaga kerja Cina dan pekerja lokal di Indonesia tentu menimbulkan krisis kepercayaan dan persepsi negatif publik terhadap inisiatif Cina ini (Hiebert, 2020; Shepard, 2020). Sedangkan di ranah pemerintahan, kekhawatiran akan kelangsungan dan kestabilan pembiayaan proyek, debt-trap diplomacy, kekuasaan ekonomi Cina yang makin asimetris, pemberatan syarat pinjaman, terancamnya kohesivitas serta sentralitas ASEAN turut memancing skeptisme kesepuluh negara Asia Tenggara terhadap BRI dan Beijing sendiri (Gong, 2019; Marsh JLT Speciality, 2019).

Tentu saja, peningkatan kewaspadaan negara-negara partner ini membawa dampak buruk bagi kelangsungan BRI di Asia Tenggara. Ditinjau dari kacamata geopolitik, kehati-hatian — bahkan keengganan — negara-negara Asia Tenggara untuk berpartisipasi lebih lanjut dalam mega proyek ini membuka jalan bagi para pemeran lain dalam konstelasi kuasa di Asia Tenggara untuk dapat meningkatkan pengaruhnya melalui kerja sama dalam ruang lingkup investasi dan perdagangan (Ujvari, 2019). Jepang, salah satu pesaing utama Cina di region ini, juga turut mempromosikan pembangunan infrastruktur berkualitas sebagai bagian dari strategi geopolitiknya sendiri (Parameswaran, 2019). Inisiatif Jepang ini disambut baik oleh beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia yang sedang gencar-gencarnya menarik investor Jepang sebagai bentuk menghindar dari pengaruh Cina dan Indonesia yang mengundang Jepang untuk mengerjakan proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya (Ujvari, 2019).

Tidak hanya Jepang, musuh klasik Cina, yakni Amerika Serikat yang sebelumnya telah menikmati peran sebagai pemain utama dalam urusan regional di Asia Tenggara pun tampaknya meningkatkan aktivismenya di kawasan ini melalui program Free and Open Indo-Pacific (FOIP) yang menempatkan ASEAN sebagai poros utama dalam menjaga stabilitas dan kesejahteraan kawasan (Mission of Japan to ASEAN, 2020; Gong, 2019). Dalam kerangka FOIP ini, Amerika Serikat juga memanfaatkan munculnya India sebagai kekuatan baru untuk menyeimbangkan pengaruh Cina di wilayah ini (Rajagopalan dalam He & Li, 2020). New Delhi pun menggunakan kesempatan ini untuk mendorong berbagai inisiatif terkait dengan peningkatan konektivitas antara India dan Asia Tenggara (Gong, 2019). Dalam perkembangannya, tiga kekuatan yang mencoba menanamkan pengaruhnya di Asia Tenggara ini pun bergandengan tangan dengan Australia dalam kerangka Quadrilateral Security Dialogue (The Quad) yang diprakarsai untuk meredam pergerakan Beijing (Liu dalam Sulaeman, 2020). Tentu, munculnya The Quad ini lalu menambahkan kerikil penghalang bagi Cina yang ingin menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai ‘halaman belakang’-nya melalui strategi BRI ini (Gong, 2019).

Melihat dari kenyataan geopolitik yang telah dijabarkan di atas, rasanya tepat untuk mengatakan bahwa jika Beijing masih ingin tampil sebagai pemenang dalam kontestasi kuasa di kawasan tenggara Asia ini, ia perlu memperbaiki struktur pengelolaan internal dan implementasi BRI.

Sebab, jika Beijing masih tetap saja mempertahankan kerangka kerjanya saat ini, BRI yang notabenenya dikonstruksi Cina sebagai strategi geopolitik untuk meluaskan dominasi regionalnya akhirnya hanya akan menjadi sebuah sarana Cina untuk meningkatkan aktivitas ekonominya di wilayah Asia Tenggara saja (Li, 2020; Gong, 2019). Hal ini tentu saja bertentangan dengan ekspektasi Beijing terhadap BRI yang diharapkan dapat mendongkrak posisinya dalam percaturan kuasa di region tersebut (Gong, 2019).

Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bahwa beberapa masalah yang mengelilingi BRI — seperti implementasi yang kacau, ketidakefektifan dalam pengambilan keputusan, dan korupsi — di Asia Tenggara berakar dari pengelolaan problematik dari dalam Beijing yang disebabkan oleh adanya kompetisi antar berbagai aktor dan kepentingan internal yang terlibat. Masalah-masalah ini, dieskalasi dengan munculnya berbagai isu lingkungan, ketenagakerjaan, dan alih fungsi lahan, serta kecemasan pemerintah negara-negara tuan rumah akan masalah pembiayaan, ketergantungan asimetris, juga ketakutan akan terjebak pada diplomasi debt-trap, akhirnya memunculkan kekritisan negara-negara Asia Tenggara terhadap kerja sama dengan Beijing melalui kerangka kerja BRI ini.

Ditilik dari pendekatan geopolitik, keadaan ini kemudian memungkinkan kekuatan-kekuatan lain di kawasan Asia Tenggara, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan India untuk dapat meningkatkan pengaruh mereka sekaligus membendung aktivisme Cina di region ini. Karenanya, artikel ini akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa…

pelaksanaan BRI di Asia Tenggara tak lebih dari sekadar disfungsi internal sistematis yang seiring berjalannya waktu dapat merugikan Beijing sendiri dalam konteks percaturan kuasa di kawasan ini.

[Tulisan ini pertama kali diperuntukkan untuk ujian akhir mata kuliah Penulisan Ilmiah 2020 — Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM]

Daftar Referensi

Cai, K. G. (2018). The One Belt One Road and the Asian Infrastructure Investment Bank: Beijing’s New Strategy of Geoeconomics and Geopolitics. Journal of Contemporary China, 27(114), 833. https://doi.org/10.1080/10670564.2018.1488101.

Gong, X. (2019). The Belt & Road Initiative and China’s influence in Southeast Asia. The Pacific Review, 32(4), 637, 643–645, 653–654, 658–659. https://doi.org/10.1080/09512748.2018.1513950.

Greer, T. (2018, December 6). One Belt, One Road, One Big Mistake. Foreign Policy.https://foreignpolicy.com/2018/12/06/bri-china-belt-road-initiative-blunder/.

He, K., & Li, M. (2020). Understanding the dynamics of the Indo-Pacific: US–China strategic competition, regional actors, and beyond. International Affairs, 96(1), 4. https://doi.org/10.1093/ia/iiz242.

Hiebert, M. (2020, September 3). China’s Belt and Road Initiative faces huge challenges in Southeast Asia. ThinkChina. https://www.thinkchina.sg/chinas-belt-and-road-initiative- faces-huge-challenges-southeast-asia.

Jones, L., & Zeng, J. (2019). Understanding China’s ‘Belt and Road Initiative’: Beyond ‘Grand Strategy’ to a State Transformation Analysis. Third World Quarterly, 40(8), 2–3, 9. https://doi.org/10.1080/01436597.2018.1559046.

Li, M. (2014). Local Liberalism: China’s provincial approaches to relations with Southeast Asia. Journal of Contemporary China, 23(86), 292. https://doi.org/10.1080/10670564.2013.832530.

Li, M. (2020). The Belt and Road Initiative: Geo-economics and Indo-Pacific Security Competition. International Affairs, 96(1), 169. https://doi.org/10.1093/ia/iiz240.

Ministry of Foreign Affairs, Ministry of Commerce of People’s Republic of China, & National Development and Reform Commission. (2015). Promote the vision and action of building the Silk Road Economic Belt and the 21st Century Maritime Silk Road. http://politics.people.com.cn/.

Marsh JLT Speciality. (2019). The Belt and Road Initiative: Assessing Shifting Attitudes, 1.https://www.marsh.com/content/dam/marsh/Documents/PDF/asia/en_asia/belt_and_road_a ssessing_shifting_attitudes_asia.pdf.

Mission of Japan to Asia. (2020). (rep.). A New Foreign Policy Strategy: “Free and Open Indo- Pacific Strategy”. Retrieved from https://www.asean.emb-japan.go.jp/files/000352880.pdf

Parameswaran, P. (2019, May 15). Southeast Asia and China’s Belt and Road Initiative. — The Diplomat. https://thediplomat.com/2019/05/southeast-asia-and-chinas-belt-and-road- initiative/.

Shepard, W. (2020, January 29). How China’s Belt And Road Became A ‘Global Trail Of Trouble’. Forbes. https://www.forbes.com/sites/wadeshepard/2020/01/29/how-chinas-belt- and-road-became-a-global-trail-of-trouble/?sh=590ce8de443d.

Sulaeman, F. H. (2020, April 20). ASEAN, The Quad, And China: A Security Contestation For The Indo-Pacific Region. ASEAN Studies Center Universitas Gadjah Mada. https://asc.fisipol.ugm.ac.id/2020/04/20/asean-the-quad-and-china-a-security-contestation- for-the-indo-pacific-region/.

Ujvari, B. (2019). (rep.). The Belt and Road Initiative — the ASEAN Perspective (pp. 1, 3). Egmont Institute. Retrieved from https://core.ac.uk/download/pdf/200288671.pdf

--

--

Sekarini Wukirasih

currently studying in a major that makes me drown in paperworks.