(Bukan) Fana Merah Darah: Merayakan Keberagaman Pengalaman Menstruasi dan Perjuangan Hak Cuti Haid

Sekarini Wukirasih
5 min readMar 8, 2024

--

Bagi perempuan di keluarga saya, haid tidak pernah menjadi perkara yang mudah.

Di masa belianya, eyang putri saya selalu merasakan haid berkepanjangan yang bisa mencapai sepuluh hari lamanya. Sementara itu, ibu saya selalu merasakan nyeri ekstrem. Beberapa kali, ia bahkan pingsan merasakan nyeri haid yang menyakitkan. Senada, sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), saya selalu bangun dengan migrain dan nyeri hebat di perut saat haid. Entah bagaimana pula, maag saya juga sering sekali kambuh jika saya mengalami menstruasi. Pasca didiagnosis dengan autoimun dan menginjak usia kuliah, sensasi menstruasi tersebut ditambah dengan demam dan anemia yang tak jarang bertahan hingga menstruasi saya selesai.

Berbagai efek samping dari menstruasi tersebut nyatanya tidak dirasakan oleh perempuan di keluarga saya saja. Riset Hastuti et al. (2019) yang dilakukan terhadap siswi-siswi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa setidaknya 88% dari responden merasakan sakit perut, sakit pinggang, pusing, dan lemas saat masa haid datang. Sementara itu, di Amerika Serikat, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Grandy et al. (2012) menemukan bahwa dari 408 perempuan yang mengisi kuesioner mereka, 84.1% perempuan mengalami nyeri perut yang disebabkan oleh menstruasi dengan 43.1% responden melaporkan bahwa nyeri tersebut terjadi di setiap masa haid mereka dan 41% lainnya mengatakan bahwa nyeri yang dirasakannya muncul pada beberapa masa haid saja.

Nyeri haid sendiri sejatinya muncul akibat diproduksinya prostaglandin — sebuah zat kimia — oleh dinding uterus yang membuat otot-otot rahim berkontraksi (Praderio, 2018). Kontraksi otot-otot inilah yang membuat darah dapat keluar melalui vagina dan memunculkan rasa nyeri. Meskipun demikian, perlu dimengerti bahwa tingkat rasa nyeri yang dirasakan tiap perempuan berbeda-beda. Beberapa perempuan dapat tidak merasakan nyeri sama sekali, namun beberapa lainnya dapat merasakannya secara ekstrem, layaknya saya dan ibu saya. Dalam beberapa kasus, nyeri menstruasi dapat terasa begitu menyakitkan hingga dr. Jen Gunter — pengelola Klinik Kesehatan Untuk Wanita Di Divisi Nyeri Panggul Kronis & Gangguan Vulvo-Vagina di bawah Kaiser Grup — menulis bahwa nyeri haid bisa jadi sama menyakitkannya dengan fase mendorong di saat melahirkan atau memotong jari kita tanpa obat bius (Praderio, 2018).

Dengan sakit yang dirasakan tersebut — yang sesungguhnya dapat dianalogikan bagai sedang melahirkan! — tak heran jika banyak perempuan kemudian tidak dapat melakukan aktivitas sehari-harinya dengan normal saat mengalami haid. Masih dari data riset Hastuti et al. (2019) yang sama, disebutkan bahwa 37% dari responden menjadi tidak dapat berkonsentrasi saat belajar, 12% lainnya tidak dapat berpartisipasi dalam pelajaran olahraga, dan 11% tidak dapat menamatkan hari di sekolah sehingga harus pulang lebih awal. Sementara itu 5% dari responden tidak masuk sekolah saat haid. Hal ini mengingatkan saya akan saya dan teman-teman perempuan saya ketika SMA. Kebetulan di kelas kami hanya terdapat 17 orang dan dalam suatu waktu, bisa saja kelas tidak pernah penuh karena para perempuan bergantian datang saat istirahat pertama atau pulang terlebih dahulu karena haid. Saya sendiri teringat sering datang saat jam istirahat pertama karena gejala pagi haid saya yang menyebalkan. Tak berhenti saat menempuh pendidikan wajib, saya menemukan pula bahwa beberapa teman kuliah mengalami keluhan fisik saat haid. Beberapa teman saya menjadi sangat lemas dan mengalami nyeri perut layaknya dililit.

Sayangnya, walau riset dan pengalaman berbagai perempuan telah membuktikan bahwa nyeri haid dan efek samping lainnya dari menstruasi merupakan hal yang sangat umum dialami oleh perempuan dan dapat terasa sangat menyakitkan, izin atau cuti karena haid masih sering dianggap sebagai sesuatu yang belum lazim di kalangan masyarakat. Di level ketenagakerjaan, sebenarnya cuti haid telah diatur dalam Pasal 81 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 yang menegaskan bahwa “Pekerja perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.” Namun pada kenyataannya, cuti haid ini masih jarang dimanfaatkan oleh perempuan yang bekerja. Sebab, perempuan yang mengajukan izin atau cuti kerap mengalami stigmatisasi.

Stigmasi ini kiranya dapat kita telusuri akarnya dari konsep kuno bernama female hysteria. Konsep yang baru tahun 1990-an tersebut dihapuskan dari daftar “penyakit mental perempuan” tersebut pada dasarnya dipergunakan untuk mendeskripsikan semua instabilitas emosional dan keluhan perempuan yang tidak dapat dimengerti bidang medis yang bias patriarki sehingga dianggap bahwa semuanya hanya ada di kepala perempuan (“it’s all in her heads!”) (Cohut, 2020; Lines, 2018). Hal ini membuat perempuan yang mengajukan izin atau cuti sering dianggap melebih-lebihkan dan memalsukan rasa sakitnya (Samulowitz et al., 2018) — atau lebay jika kita menggunakan istilah kekinian. Selain itu, stigma manja atau malas bekerja sering dilekatkan pada pekerja perempuan yang mengambil cuti haid (Ananta, 2021). Tak jarang, pekerja perempuan juga dibandingkan dengan rekan kerja lain yang tetap bekerja meskipun haid. Hal ini membuktikan bahwa keragaman pengalaman ketubuhan perempuan yang tak bisa disamakan saat menstruasi penting untuk pahami dan dimengerti oleh khalayak umum.

Berbeda dengan kondisi di lingkungan pekerja yang mempunyai peraturan perundangan namun implementasinya buruk akibat adanya stigmatisasi, di level universitas justru belum ada sama sekali peraturan yang mengatur tentang izin atau cuti haid bagi mahasiswi. Kenyataan ini pernah membuat saya frustrasi, sebab absennya konsep mengenai izin atau cuti haid ini membuat beberapa orang menjadi menyepelekan kondisi haid dan ‘komplikasinya’. Seorang tutor laki-laki cis hetero misalnya, saat semester empat lalu, tetap mengatakan pada saya untuk harus menyelesaikan ujian tengah semester tepat waktu meskipun saya sudah izin untuk mengumpulkan terlambat karena sedang haid, demam, dan nyeri perut. Selain itu, beberapa menfess di X @ugm_fess yang saya temukan juga menunjukkan bahwa tiadanya aturan cuti haid bagi mahasiswi membuat beberapa mahasiswi terpaksa mengorbankan presensinya atau mengirim izin sakit yang terkadang harus melampirkan surat dokter — yang kadang terlalu repot untuk didapatkan — agar dikira tidak berbohong.

Masih minimnya penyediaan ruang dan rekognisi atas pengalaman haid perempuan ini rasanya dapat menjadi dorongan bagi kita semua untuk makin mengamplifikasi isu ini. Sebab, walaupun tentu saja solidaritas dan support system antarperempuan sangat diperlukan, nyatanya di dunia yang patriarkis dengan pemimpin perusahaan atau lembaga pendidikan yang masih didominasi oleh laki-laki cis hetero ini kita masih membutuhkan pemahaman dan kontribusi semua pihak untuk mewujudkan lingkungan yang ramah bagi perempuan. Saya rasa sudah saatnya bagi kita untuk merekrut sebanyak-banyaknya allies yang dapat membantu perempuan dalam perjuangan kita dalam mendapatkan ruang rehat untuk merayakan pengalaman ketubuhan yang berupa menstruasi dan semua efek samping yang menyertainya tanpa mengalami stigmatisasi.

*tulisan ini pertama kali ditulis untuk ujian akhir semester mata kuliah Gender dan Politik 2022

--

--

Sekarini Wukirasih

currently studying in a major that makes me drown in paperworks.