kita usahakan kelanggengan demokrasi itu: sebuah opini.

besarkan dan buat dia (demokrasi) jadi kenyataan — agar ia tak hanya menjadi demam musim panas yang menghampiri kita secara sesaat.

Sekarini Wukirasih
2 min readFeb 13, 2024

bagi negara dengan jatuh bangun otokrasi seperti Indonesia, rasanya tepat untuk mengatakan bahwa demokrasi dibayar dengan harga yang mahal. harga itu bahkan mencakup tercabutnya nyawa para martir republik yang bagi sebagian orang mungkin hanya “dagangan lima tahun”. namun, bagi saya yang dibesarkan oleh ayah yang cukup giat mengadvokasikan isu-isu demokrasi dan multikulturalisme, nama seorang teman ayah yang dihilangkan oleh jendral yang kini mencalonkan dirinya sebagai presiden itu bukan “dagangan lima tahun”. nama itu bagaikan hantu yang terus bergentayangan tanpa diminta selama ayah saya hidup dan memperjuangkan demokrasi ini — bahkan hingga kini ketika jasadnya telah dipeluk bumi.

pengalaman saya ini mungkin satu dari seribu. tak banyak orang yang punya privilese ayah yang melek politik sejak dalam pikiran. karenanya, saya tak heran jika menemukan bahwa mayoritas dari kita mungkin berpikir, “apa sih pentingnya politik? mau siapapun presidennya, siapapun wakil legislatifnya, kita tetap cari makan sendiri. kita tetap susah-susah hidup sendiri.”

statement tersebut tak ada salahnya. jujur, saya juga pernah berpikir demikian. siapapun presidennya, bpjs yang tak seberapa itu tidak bisa membayarkan seluruh biaya cuci darah yang saya perlukan karena saya terserang autoimun. siapapun wakil legislatifnya, saya tetap luntang-luntung mencari tempat magang di sana-sini.

namun, pertemuan saya dengan berbagai orang — mulai dari ibu-ibu Kipper, perempuan-perempuan SP Kinasih, seniman pro-Wadas, dan banyak orang lainnya — membuat saya kembali teringat nama teman ayah saya itu.

bagi mereka, siapa presidennya itu penting. siapa presidennya menentukan masa senja ibu-ibu Kipper — apakah kembali dipersekusi karena masa lalunya atau tidak?

siapa presidennya menentukan keberlanjutan perjuangan para perempuan SP Kinasih dan teman-teman komunitas lainnya — apakah mereka bisa mengutarakan ekspresinya tanpa diserang para buzzer atau tidak?

siapa presidennya menentukan nasib anak-anak di Wadas — apakah mereka tetap bisa melanjutkan sekolah tanpa trauma kehadiran aparat atau tidak?

pertanyaan-pertanyaan ini bermuara pada satu hal: jika Anda masih menganggap politik itu tidak penting, mungkin tandanya Anda perlu menilik kembali segala privilese yang Anda punya dan menyadari bahwa memiliki anggapan itu pun sebuah privilese. sebab di akhir hari, siapa pemimpin negara ini berpengaruh bagi kehidupan kita, sekecil apapun.

bagi saya, hal tersebut mungkin terwujud dari kemungkinan terbuka lapangan kerja yang lebih luas bagi penyandang autoimun dan unseen difable jika saya memilih presiden yang tidak ableist. dan itu hanya contoh kecil saja.

karenanya dengan tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa di pemilu kali ini, kita hendaknya sadar sepenuhnya bahwa hak sekecil apapun dapat terancam jika kita memilih calon pemimpin yang salah — yang menghalalkan segala cara, mensimplifikasi kedukaan, bahkan bermain kotor dengan kekuasaan yang ada, melecehkan kuasa kita sebagai rakyat dengan skenario culas yang tak tahu malu.

maka dari itu, marilah kita jaga demokrasi ini. besarkan dan buat dia kokoh tanpa cela otokratisasi. besarkan dan teriakkan kepada para keparat-keparat menara gading itu, bahwa demokrasi yang representatif di Indonesia punya hayat untuk hidup. besarkan dan buat dia jadi kenyataan — agar ia tak hanya menjadi demam musim panas yang menghampiri kita secara sesaat.

selamat memilih, saya harap kita semua memilih demokrasi!💗

--

--

Sekarini Wukirasih

currently studying in a major that makes me drown in paperworks.